Minggu, 21 April 2013

“Melepaskan Falsafah Kurung Batok”

Melepaskan sikap dan watak etnosentrisme bagi sebagian kaum merupakan sebuah keniscayaan, sikap yang dibangun atas rasa superioritas akan masa lalu peradaban ataupun keunggulan lahiriah dapat merasuk begitu kuat sejak usia dini hingga kemudian sulit dilepaskan pada usia baya. Sikap ini dapat dimanifestasikan pada sikap memandang rendah orang lain berdasarkan latar belakang etnisnya hingga pada tahap ekstrim mengusir seseorang dari tanah milik leluhurnya. Sungguh sebuah sikap yang seharusnya punah dari kehidupan multikultur. Beranjak kemudian saya pada sebuah pertanyaan? Apakah orang Sunda memiliki sikap dan watak demikian? Dengan lega hati saya dapat bersyukur bahwa orang Sunda tak memiliki stereotype demikian, setidaknya dari pandangan orang-orang non-Sunda di sekeliling saya. Namun, terdapat sebuah sikap yang menurut saya cukup lekat di orang Sunda, yaitu enggan meninggalkan tanahnya untuk mencari kehidupan atau peruntungan di tempat lain. Sikap ini saya pikir cukup mengendap dalam budaya orang Sunda, hingga terwakilkan dalam sebuah ungkapan bertajuk kurung batok. Secara etimologis, ungkapan kurung batok itu sendiri dapat diartikan sebagai keengganan untuk berhubungan dengan dunia luar. Tentu sangat naïf untuk dengan cepat menilai orang Sunda itu sungguh-sungguh kurung batok, sungguh-sungguh kuuleun dalam bahasa prosa Sunda. Namun, sebagai pertanggungjawaban atas pendapat saya, pengalaman berkuliah di luar Bandung adalah sebuah ukuran sederhana yang saya wacanakan. Meninggalkan Zona Nyaman Meninggalkan Kota Bandung yang lengkap dan nyaman sebagai kota pendidikan, dengan berbagai institusi pendidikan yang berdiri serta atmosfernya yang nyaman untuk mengenyam studi sungguh pilihan berat. Namun, sebuah kepercayaan bahwa cara mensyukuri suasana serba ada di Kota Bandung dan Jawa Barat dengan keamanan pangan, keindahan alam, dan keelokan manusianya adalah dengan berkelana ke tempat lain, tempat yang belum dikenal sebelumnya. Sebagai individu yang besar di lingkungan perguruan tinggi Kota Bandung dan Jawa Barat, semisal Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) membuat cita-cita studi tinggi saya tertuju pada institusi termaksud. Tak pernah terbayang sebelumnya, saya akan melanjutkan studi di Universitas Indonesia (UI) yang amat “Jakarta” nuansanya, saat kita belum mengenalnya. Kebingungan di awal kuliah karena tak memiliki patron ataupun senior yang melanjutkan studi almamater yang sama, membuat saya cukup sadar akan “sendirinya” saya di sana. Meskipun Jakarta-Bandung kini dapat ditempuh hanya dalam tempo dua jam via Jalan Tol Cipularang, namun saya tetap menasbihkan diri saya sebagai anak daerah, sebagai identitas para mahasiswa yang meninggalkan rumah induk semangnya di daerahnya. Dari kondisi demikian, saya kemudian mencoba menghimpun mahasiswa-mahasiswa lain yang berasal dari Bandung, dengan berkaca dari mahasiswa-mahasiswa asal daerah lain yang berhasil menghimpunkan dirinya dalam paguyuban-paguyuban daerah. Sebuah ketercapaian tersendiri saat kami mahasiswa UI asal Bandung dapat menghimpunkan diri dalam suatu Paguyuban bertajuk Urang Bandung dan diabreviasikan dengan UrBan. Sebuah kegembiraan pula terbuncah saat sadar ternyata cukup banyak mahasiswa asal Bandung di UI dan aktif serta berpengaruh dalam lingkungannya masing-masing. Dalam tempo singkat, paguyuban ini berhasil berpartisipasi dalam berbagai kegiatan termasuk didalamnya mementaskan pagelaran sederhana dengan aransemen lagu daerah dan mendapatkan apresiasi yang baik dari paguyuban lain. Pokok permasalahan yang ditemukan dalam kasus ini adalah tiadanya wadah untuk berhimpun, dan boleh jadi kondisi ini terjadi pula di kampus-kampus lain di luar wilayah Jawa Barat dengan mahasiswa Sunda melanjutkan studi disana. Kondisi ini pun dapat terjadi pula dalam level masyarakat yang lebih luas di luar kampus, semisal ketiadaan paguyuban orang Sunda di daerah-daerah. Padahal paguyuban ini amat efektif untuk menjalin silaturahmi serta mengembalikan kebahagiaan saat dapat berlisan dengan bahasa daerah sebagai bentuk identitas dan rasa sayang pada budaya leluhur. Merambah Level Nasional David McClelland seorang ilmuwan sosial mengungkapkan sebuah konsepsi bertajuk n-Ach (Need of Achievement), yang kurang lebih mengemukakan bahwa maju tidaknya peradaban suatu kaum bergantung pada warisan masa lalu baik itu berupa literatur, karya seni, arsitektur ataupun personifikasi seseorang yang dianggap pahlawan dan berpengaruh dalam magnitude yang luas. Bagi saya, kaum muda Sunda kini membutuhkan lebih banyak personifikasi demikian, sosok-sosok kaum Sunda yang berhasil menancapkan taji dalam bentuk prestasi ataupun kontribusi bagi masyarakat luas, berpengaruh melebihi batasan spasial kaumnya. Saya cukup kehilangan sosok-sosok Sunda yang berperan sebagai negarawan terkemuka di masa lalu semisal Iwa Kusuma Sumantri, Otto Iskandardinata hingga Mochtar Koesoemaatmadja. Para punggawa pemerintahan di masa kini, bagi saya kurang tersentuh sosok Sunda, dalam artian sosok yang memberikan warna dan pengaruh yang signifikan, tak sekedar mencatutkan namanya begitu saja di daftar panjang pejabat pemerintahan. Ditinjau dari sisi lain, Jawa Barat terutama Kota Bandung adalah inkubator negarawan-negarawan Indonesia. Soekarno, Syahrir dan lainnya pernah mengecap sejuknya Bandung untuk berdiskusi dan panasnya atmosfer intelektual Bandung untuk berdebat. Seharusnya, ini menjadi sebuah refleksi mengapa tak banyak negarawan yang kemudian lahir dari wilayah ini. Sungguhpun pendapat ini tak bermaksud mengecilkan usaha dan capaian mereka yang menuju cita-cita tersebut. Hubungan redaksional antara kurung batok dan inkubasi negarawan dari Jawa Barat adalah pentingnya pengalaman menjejakkan kaki di tempat lain agar cakrawala kita sebagai putera sunda tak henti di tatar Pasundan saja. Dibutuhkan sebuah pengalaman indrawi untuk memahami Indonesia, yang berarti akan memahami bahwa Jawa Barat adalah bagian dari negeri yang besar, dan hidup berdampingan dengan daerah lain agar terus dapat seiring dalam pembangunan. Masa muda, masa dimana kondisi lahiriah dan idealism begitu membuncah haruslah dimanfaatkan dengan terus menjelajah, bertemu dengan kawan-kawan sejawat baru se-Indonesia. Bukanlah sebuah keniscayaan bahwa dalam tahun-tahun mendatang hampir semua kaum muda dapat mewujudkan dirinya sebagai personifikasi yang bercitarasa lokal dan berwawasan global oleh Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Mahasiswa Dept. Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia Esai untuk Pelatihan Kepemimpinan Putera Sunda 9 – 2011