Sabtu, 19 Januari 2013

Sebuah Awal

Suatu hari, saya teringat pada masa kecil di kampung. Di sebuah rumah sederhana dengan halaman yang sangat luas, dan ditanami aneka tetumbuhan. Pepohonan yang rindang memberikan kesenangan yang berbeda-beda. Terkadang sepoi anginnya masih terasa, wangi tanah selepas hujan masih tercium, nikmat seperti wangi cerutu. Semuanya memang sudah tidak ada, begitu juga dengan rumah masa kecil itu. Yang tersisa hanya kenangan, dan sesekali kenangan itu sering menelusup ke dalam ingatan. Dan, sejak pagi Ibu sudah membereskan setiap sudut rumah. Ia tak hentinya bekerja dan mengabdi pada keluarga, mengurus kedua anaknya. Saya melihatnya dari pagar balkon rumah, Ibu sedang menyirami tanaman dengan air bekas cucian. Mengobrol dengan tetangga sesaat, dan kembali untuk menjemur pakaian. Ibu adalah sosok pekerja keras. Suatu waktu, ketika Ia sedang mencuci pakaian, Saya menghampirinya. Merengek, memintanya untuk berhenti mencuci. Saya bilang ingin minta susu (ASI –red) padanya. Iapun malah tersenyum dan tidak menggubris keinginan saya. “Kamu itu sudah empat tahun, masa iya terus nyusu terus sama Ibu.” Katanya. Saat itu, Saya malah menangis mendengar ungkapan Ibu itu. Ibupun terpaksa berhenti mencuci dan menggendong saya. Ya, pada waktu itu umur saya memang mau menginjak empat tahun, namun belum genap. Saya ingat betul kejadian ini, dimana anak seusia saya pada saat itu sudah tidak lagi diberi ASI oleh Ibunya. Namun, entahlah saya masih menginginkannya. Ibu sangat hobi sekali membuat kue kering. Sesekali Ia bagikan pada tetangga terdekat. Kadang-kadang saya membantunya dan memperhatikannya membikin kue-kuenya. Ia sangat terampil membuat adonan dan menghiasnya. Ibu bilang, Ia belajar dari Nenek. Namun keterampilannya itu bahkan tak menurun kepada Kakak perempuan saya. Sayang sekali, padahal resep kue-kue Ibu sangat Saya gemari. Pernah saya juga kembali merepotkannya waktu itu. Saya mengacak-acak lemari sepatu, saya pikir Ibu akan kesal dan marah melihat tingkah laku anaknya yang selalu merepotkannya. Namun tidak, senyumnya masih saya ingat. Ibu malah membereskan sepatu-sepatu itu. Dan mengajak saya keluar rumah untuk bermain.  Saat hujan deras, Bapak menitipkan saya di rumah nenek, Ia begitu tergesa-gesa entah pergi kemana. Dan, Ibu sudah tiga hari tak ada di rumah, sedang Kakak perempuan saya sedang berada di Bandung bersama Paman menghabiskan liburan sekolahnya. Saya sungguh tak mengerti apapun saat itu. Namun saya sungguh mencemaskan mereka semua. Saya merengek pada Nenek menanyakan keberadaan Ibu saat itu. Sudah hampir satu minggu Ibu meninggalkan anaknya ini. Nenek hanya bilang bahwa Ibu sedang ada keperluan dan akan kembali secepatnya. Namun pada musim hujan di tahun 1997, pada malam hari banyak sekali tetangga dan kerabat yang datang ke rumah. Saya tak paham apa yang sedang terjadi. Sekitar pukul 00.30 dini hari orang-orang berkumpul di rumah kami bersiap-siap menunggu kedatangan sesuatu. Saya tak ingat lagi selanjutnya. Pagi harinya, hujan telah reda berganti dengan sinar mentari yang hangat. Hari cerah di musim hujan. Saya terbangun dari tidur, bergegas keluar kamar menuju ruang tengah rumah. Lalu dikejutkan dengan Bapak dan Kakak perempuan saya yang sedang menangis. Dihadapan mereka Ibu sedang terbaring berselimut kain putih dengan mata tertutup. Orang-orang hilir mudik menjenguk Ibu, ada juga beberapa yang sedang membaca ayat-ayat Al-Quran. Selama satu minggu, Ibu dirawat inap di Rumah Sakit. Namun sayangnya Ia tak tertolong. Katanya Ibu mengidap penyakit ginjal. Saya tak paham saat itu. Yang saya tahu Ibu sudah tak ada lagi untuk menemani saya tumbuh dewasa. Hanya itu memori yang saya ingat tentang Ibu. Ibu adalah sosok yang indah dimata saya, meskipun kurang lebih hanya empat tahun waktu bersamanya. Salah satu keharuan yang mendalam ketika mengenang kembali masa kanak-kanak yang tak semuanya saya ingat. Namun ketiadaannya adalah awal kehidupan saya yang sebenarnya. 22 Desember 2009 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar